);

About Me

 

Why I Write …?

Waktu itu umur saya masih 7 atau 8 tahun ketika lirik-lirik lagu Westlife begitu jinak lalu lalang di kepala. Belajar mengartikan sendiri dengan kemampuan bahasa Inggris yang sangat minim, lalu jatuh cinta dengan cara kerja sebuah lirik.

Tahun-tahun berikutnya berlalu dengan semakin banyak lirik yang saya coba pahami, simak, dan mengerti. Saya begitu suka dengan berbagai “perasaan” yang tertuang dalam lirik-lirik itu. Kata-kata yang dipilih para penulisnya pasti sangat istimewa hingga bisa sesarat makna seperti itu.

Suatu hari, saya minta dibelikan buku catatan yang terlihat ekslusif (hardcover dengan warna gelap) pada Papa. Belajar menulis hal-hal kecil tentang hidup saya sehari-hari. Sebutlah ini diary anak SD yang tulisannya masih begitu sulit untuk dibaca. Sayapun geli sendiri jika membaca ulang jurnal lama itu.

Namun sejak saat itu, saya menemukan koneksi dengan rangkaian kata-kata. Seolah ketika menulis, saya melepaskan sesuatu dari pundak dan pikiran saya. Ada kelegaan dan kedamaian yang saya rasakan setiap kali menulis. Entah itu sekedar coretan kekesalan, omelan bodoh bocah SD, atau bahkan curhatan Suci kecil yang tidak boleh potong rambut.

Menulis Itu Menyembuhkan


Semakin saya tumbuh, semakin saya banyak membaca, semakin saya merasa kaya dengan kata-kata. Keinginan menulis semakin menjadi-jadi. Terlebih ketika saya mulai belajar jatuh cinta, mulai merasakan gelisahnya patah hati, mulai sering mendengar hal-hal rumit yang tidak terucapkan dengan lisan.

Saya mulai menulis cerita-cerita singkat yang saya nikmati sendiri, baca sendiri, dan sembunyikan untuk diri sendiri. Menulis realita yang tidak saya temukan di kehidupan nyata menjadi ada dalam tulisan-tulisan itu. Berharap suatu hari mungkin saya akan menemukan sendiri alur yang saya mau.

Melepaskan harapan-harapan tidak kesampaian lewat tulisan benar-benar membuat saya lega. Ketika saya sedang begitu rindu dengan seseorang, rindu itu seolah tersampaikan ketika saya menulis, sekali lagi, meskipun hanya untuk saya baca sendiri.

 

Akhirnya Harus Tersampaikan


Bertahun-tahun saya sempat berhenti menulis karena merasa kurang puas dengan apa yang saya hasilkan. Hingga akhirnya seorang teman menguatkan.

“Suci, tulisan itu tidak ada gunanya kalau disimpan sendiri. Semua penulis punya pembacanya sendiri. Jelek atau bagusnya bukan urusan kita. Menulis menyembuhkan, tapi akan lebih mendamaikan lagi kalau kamu berani publikasi,” katanya waktu itu.

Mendengar itu, saya mulai mengumpulkan tulisan yang berserakan dimana-mana, notes di hp, coretan di jurnal yang selalu saya bawa-bawa, rekaman suara di hp, dan media sosial. Berharap bisa mengumpulkan semuanya jadi satu, disusun rapi, lalu dihidangkan baik-baik.

Maka lahirlah waktu itu akun @puisi.lingkaran di instagram. Berawal dari iseng-iseng “berani publikasi” tulisan untuk orang lain. Mendapat respon bagus, saya kecanduan.

Sejak saat itu, saya kembali tergila-gila dengan kosa kata, lirik-lirik, puisi-puisi, dan cerita-cerita. Tergila-gila untuk merasakan berbagai jenis perasaan, lalu tergila-gila menuliskannya. Tergila-gila mengamati perasaan orang lain, lalu tergila-gila menuliskannya. Tergila-gila menulis sesuatu, dan tergila-gila ingin dibaca oleh banyak mata.

 

My Debut Novel


Suatu hari di masa-masa banyak waktu luang alias nganggur sepanjang di penghujung 2016 saya iseng menjadikan puisi-puisi dalam @puisi.lingkaran menjadi sebuah cerita. Segala bentuk gelisah yang sempat saya catat, yang pernah saya dengar dari curhatan orang-orang di sekitar, hingga direct message rahasia dari pengikut puisi lingkaran saya kumpulkan ke dalam sebuah warna-warni yang saya sebut proses bertumbuh. 

Maka lahirlah draft pertama sebuah cerita yang saya coba tulis dengan cara ‘berjalan dengan sepatu orang lain’ hingga menghasilkan ratusan halaman huruf Calibri space 1,5. Mengendap berbulan-bulan sekali lagi saya iseng mengirim draft tersebut ke beberapa orang teman yang suka membaca. Mendapat respon bagus saya di dorong untuk mengirimkan naskah tersebut ke penerbit major.

Awal 2018, sebuah email datang di siang hari yang benar-benar terasa melelahkan. “Naskah ‘Cerita Pada Sepotong Kayu’” lolos pra-seleksi untuk diterbitkan blablabla”. Berkali-kali email itu saya baca berulang-ulang. Maka dengan ingatan yang bahkan sempat lupa bahwa saya pernah mengirim naskah, saya tidak bisa apa-apa kecuali bersyukur atas satu dari ratusan mimpi yang pada akhirnya tercapai.

Bulan demi bulan, hingga hari ini. Cerita yang tadinya saya tulis untuk mengisi gelisah tersebut akhirnya terbit dengan judul Apakah Seperti Ini Cinta Itu Sendiri yang diterbitkan oleh Grasindo. Sebuah proses bertumbuh dan gelisahnya jatuh cinta tertuang dalam buku ini, my debut novel.