);

Dua atau tiga kali dalam setahun, aroma belerang yang mengendap di dasar danau Maninjau menguar. Jutaan ikan yang dibesarkan dalam karamba oleh ratusan pengusaha ikan nila akan mati dalam satu atau dua minggu. Sudah menjadi kebiasaan bagi pemilik karamba untuk menjadikan danau sebagai tempat pembuangan bangkai ikan-ikan gagal panen mereka. Bercampurlah aroma belerang, ikan nila pucat yang menggembung, dan segala hal membusuk yang dibuang ke tengah danau ini. Familiar bagi orang-orang yang memilih untuk tetap menghuni rumah peninggalan leluhur mereka di pinggir danau. Mengganggu bagi orang-orang yang bertahan hidup was-was berdampingan dengan lereng bukit-bukit yang terbiasa longsor. 

Rani, dibandingkan dengan siapapun percaya bahwa hidungnya lebih akrab dengan aroma belerang dan bangkai ikan yang menepi itu. Sambil tetap menikmati teh racikannya di beranda belakang setiap pagi dan menjelang maghrib, Rani tidak peduli jika ada ratusan orang yang nyaris muntah menghirup aroma musiman di sekeliling danau Maninjau itu. Baginya, bau busuk ini hanya identitas di kampung halaman tempat ibunya lahir, tumbuh, menjalani kehidupan dan menua sebelum kembali menjadi tanah.

Rani hidup di rumah kayu bersama saudaranya. Rumah berumur seratus tahun dengan beranda yang setengahnya menjorok ke arah danau. Rani punya kebiasaan menghabiskan tiga puluh menit setiap pagi dan sore untuk menikmati teh sambil merapikan benang-benang tenunan dan menghitung jumlah karamba yang terlihat dari berandanya. 

Rani tidak terlalu suka dengan jumlah karamba yang mengapung di permukaan danau Maninjau ini. Mungkin satu-satunya keturunan Angku Laweh, kakeknya, salah satu dari pelopor budidaya ikan nila dalam jala apung yang tidak ikut serta memanfaatkan danau untuk mencari nafkah. Karenanya, Rani sering menjadi bahan olok-olok orang kampung karena mengasingkan diri dari kegiatan ekonomi nomor satu di sekitar danau Maninjau itu. Rani sering dicibir oleh tetangga dan sepupu-sepupunya karena lebih memilih untuk hidup pas-pasan dengan penghasilan kecil yang didapatkan dari menjual songket.

Songket karya Rani memiliki corak unik yang penuh dengan pola-pola yang bercerita. Tidak ada orang di kampungnya yang terlalu paham pekerjaan Rani. Bagi mereka Rani hanya tukang tenun songket yang hidup dari santunan dua kakak pengusaha karambanya.

Sore ini, seperti biasa Rani duduk di beranda. Menghirup teh sambil menyusun benang dan memilih warna yang akan dipakainya untuk songket selanjutnya dan sesekali memandang jauh ke seberang danau memperhatikan sisa matahari bersembunyi di balik bukit. Namun riak danau petang ini terasa berbeda. Suara rangkulan air yang menepuk ujung tangga beranda terdengar lebih pelan namun dalam. Terasa dekat tapi seolah jauh. Rani beranjak dari kursi rotannya dan mendekati tangga, memperhatikan permukaan air yang terlihat semakin tenang seiring dengan silau petang yang semakin hilang dan redup. Perlahan semua suara menjadi seirama dan gumaman halus bersiul dari arah danau. 

Rani terkesiap. Sambil memejamkan mata Rani kembali mendekat ke arah danau dan duduk di ujung tangga. Suara merdu itu kembali mendengung. Mengalun dari kedalaman danau. Menggetarkan ujung-ujung rambut halus di kulit Rani dan membuat hembusan angin terasa ratusan kali lebih dingin. Terhipnotis. Rani semakin membenamkan kakinya ke dalam air dan melangkah turun ke anak tangga yang lebih rendah. Alunan suara dari jauh itu semakin berirama. Memanggil. Seketika adzan magrib berkumandang. Rani tersentak membuka mata dan meninggalkan beranda. Menutup pintu terburu-buru.

Di dalam kamar, setelah mengganti pakaian yang basah karena berendam di danau dan menunaikan sholat maghrib, Rani duduk bersandar di ujung kasur. Memandang keluar lewat celah yang disisakan jendela. Mengingat suara halus yang membuat Rani seolah ingin menyelam jauh ke dasar danau tadi. Baru sekali dalam hidupnya mendengar suara seperti itu. Dan hanya dari film fantasi soal makhluk lain di perairan Rani pernah mendengar suara yang serupa. Tapi apa mungkin di danau Maninjau ini ada makhluk yang selama ini diceritakan sebagai sosok khayalan itu. 

Rasa penasaran Rani lebih kuat dibandingkan rasa takutnya. Tanpa peduli langit sudah gelap dan danau semakin tenang, Rani bergerak keluar kembali ke beranda. Dengan langkah pelan Rani mendekati ujung tangga. Matanya menangkap selembar kain terhampar. Mengapung di dekat tangga. Rani mendekat dan mengambil kain basah yang memiliki motif dan warna unik itu. Songket tua berisikan corak abstrak membentuk sosok manusia, danau, dan manusia setengah ikan. Rani kembali tersentak. Namun tetap memegang erat kain di tangannya. Suara merdu yang didengarnya petang tadi kembali mengalun dari arah danau. Buru-buru Rani kembali masuk dan meninggalkan beranda dengan bulu kuduk berdiri.

Rani menyalakan keran air dan membilas kain basah yang dibawanya dari beranda. Membuat luntur air danau penuh bau amis dan membuat warna di kain itu semakin terlihat jelas. Semakin Rani memperhatikan motif di songket itu semakin matanya terasa panas sebelum akhirnya meneteskan butiran air dari sudut matanya. Rani menangis menyadari bahwa corak di atas kain itu ternyata bercerita tentang seorang manusia yang menenggelamkan dirinya ke danau untuk dapat bersama dengan manusia setengah ikan yang hidup di dasar danau. Hanya saja air mata Rani bukan tentang kisah cinta antara dua makhluk berbeda alam itu. Rani menangis mengingat alunan yang didengarnya yang membuat Rani merasa bahwa kisah cinta yang dilihatnya di atas kain songket ini bukan cerita fiksi yang sering dilihatnya di film-film atau cerita yang bisa dibacanya dari buku-buku. Rani tiba-tiba merasakan duka yang teramat dalam mengingat danau yang menjadi sumber kehidupan ribuan manusia yang hidup di kampungnya ini, perlahan mati. Seakan menenggelamkan diri ke dasar air—yang dilakukan sosok dalam corak songket itu—orang-orang memanfaatkan danau terlalu berlebihan adalah tindakan bunuh diri yang membuat kisah cinta antara manusia dan alam adalah cerita cinta antara dua makhluk yang berbeda alam. Seolah luntur, ketakutan Rani hilang. Rani bangkit dan kembali membuka pintu beranda.

Rani berdiri di ujung tangga membiarkan angin malam menampar wajahnya. Berharap kembali mendengarkan nyanyian dari danau Maninjau yang begitu ia cinta. Hening. Hanya bunyi air yang merangkak perlahan menepuk ujung beranda. Rani menghela nafas panjang, menghirup semua aroma yang bisa terhirup dari angin malam dan permukaan danau Maninjau yang semakin kotor.

Untaian benang-benang yang ditenun Rani dalam songketnya selama ini ternyata adalah wujud kepasrahan Rani terhadap pencemaran danau Maninjau. Tanpa merasa perlu untuk memberikan kritik, berusaha sekecil apapun untuk membantu danau Maninjau memiliki kembali keasrian purbanya, Rani memilih untuk menjadi pengrajin songket sebagai bentuk persembunyian dari dorongan apatis di dalam jiwanya terhadap perubahan alam dan perilaku manusia. 

Semakin Rani memandang permukaan danau, semakin ia terhanyut dalam corak riak yang menepi. Semakin Rani tenggelam dalam pikirannya, semakin Rani menyadari bahwa danau Maninjau telah memanggilnya. Lolongan merdu yang didengar Rani itu adalah tangisan pilu permintaan tolong oleh peninggalan fenomena alam yang sekarat. Hamparan lukisan abstrak yang tergambar dalam songket yang ia temukan malam ini adalah sajak penuh metafora yang mengajarkan Rani bahwa mencintai saja tidak cukup, dengan segala perasaan dan emosi yang dirasakannya menjadi manusia yang hidup di pinggir danau Maninjau dan menyaksikan keindahan alam ini berubah menjadi pembuangan kotor atas kerakusan manusia, Rani harus melakukan sesuatu.

Seperti sosok manusia yang menenggelamkan dirinya ke dasar danau untuk dapat bersama dengan manusia setengah ikan di dalam corak songket itu, Rani merasakan bersama butiran air yang meleleh dari sudut matanya, bahwa dirinya mungkin ditakdirkan untuk menjadi sosok manusia yang menceburkan diri ke air danau untuk hal yang sama: cinta. 

Untuk nyanyian yang terdengar oleh Rani malam ini, untuk sebuah tangisan sakral yang datang dari dasar danau, untuk lolongan dari alam yang menyerah atas keserakahan manusia mengeruk keuntungan tanpa peduli dengan makhluk lain yang bergantung pada danau ini, Rani bersumpah akan melakukan apapun yang bisa ia perbuat untuk mengembalikan keindahan danau Maninjau dan berhenti tenggelam dalam keadaan pasrah dan bersembunyi dari realita. Dengan membuat songket Rani akan bercerita soal danau Maninjau untuk memperjuangkan perhatian dari tangan-tangan dan kuasa yang lebih berpengaruh untuk memperbaiki kelestarian danau tempat kelahirannya.

Rani memejamkan mata. Sayup kembali terdengar dengungan merdu dari tengah danau mengiringi helaan nafas cita-cita yang mulai terpancar dalam jiwa Rani. Rani ingin membuat danau Maninjau berganti wajah, membuatnya kembali terlihat membiru menuju pemulihan. Rani ingin menyembuhkan danau yang sekarat ini dan aroma belerang yang sedang identik dengan kerusakan ini dapat dengan ajaib berubah menjadi simbol ketahanan.

Rani terus menyusun rencana dalam kepalanya, membayangkan setiap songket yang akan dibuatnya untuk menceritakan kisah penebusan dan komitmen. la ingin menjadi suara bagi danau Maninjau. Sambil menghirup aroma angin yang membawa bau amis, imajinasi Rani menarasikan danau Maninjau yang bebas dari belenggu kelalaian dan pengabaian, kembali bergema dengan melodi, alunan nyanyian dari dasar danau—kali ini, bukan kesedihan dan duka, melainkan harapan. Ikrar dan tekad Rani di malam yang tak terlupakan itu memicu perubahan dalam dirinya, menuliskan cerita dan kisah cinta baru antara manusia dan alam.

Dalam kain-kain waktu, songket-songket Rani akan menjadi benang-benang yang menghubungkan masa lalu, kini, dan masa depan, menjalin cerita ketahanan dan ikatan abadi antara manusia dan alam. Di mata Rani, Danau yang memudar dalam warna keputus-asa-an ini berkilau dengan pantulan biru langit di atas permukaannya yang tampak asri.